Ketika diriku masih kecil diriku dikenalkan dengan segenap indra yang melekat di raga ini, begitu hafalnya diriku akan nama dan fungsinya
Namun ternyata aku belum mengenal dan memahami sepenuhnya sebagai bagian dari hidupku
Masih termenung Gagak Seto, merenungkan dan menemukan jawaban atas pertanyaan yang timbul di dirinya. Setiap kali dirinya menemukan jawaban atas satu pertanyaan timbul pertanyaan lagi yang akhirnya dirinya tidak bisa menemukan jawabannya. Hingga akhirnya dia mencoba untuk membuang semua pertanyaan itu dan merebahkan dirinya. Menghabiskan waktu yang tersisa untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.
Sang waktu seakan menyadari kegalauan hati Gagak Seto, terus bergerak hingga akhirnya tibalah saatnya mentari untuk meredupkan sinarnya digantikan cahaya bulan untuk menerangi gelapnya malam. Suara binatang malampun semakin menambah keheningan malam. Tampak disebuah beranda gubuk Gagak Seto dan Kakek Lowo Ireng sedang duduk bercengkrama. Seperti layaknya seorang cucu dan kekeknya, tampak kedekatan yang sudah lama terbangun dari sebuah hubungan yang muncul secara kebetulan.
“Bagaimana Seto cucuku, sepertinya kondisimu sudah lebih segar, lebih sehat ngger?” tanya sang kakek.
“Sudah Kek, berkat ramuan yang kakek berikan dan suasana yang ada membuat saya terasa nyaman. Badan terasa lebih segar. Namun tetap saja kek, hati dan pikiran iini masih ada yang membebani,” kata Gagak Seto, “rasanya diri masih tidak rela kehilangan sebelah tangan ini kek.”
“Walah begitu saja kok masih dipikirkan to ngger? Mbok ya sudah, ayo temenin kakek minum wedang uwoh ini . Sambil makan ketela bakar nanti kita berbincang-bincang lagi,” kata sang kakek.
Dengan enaknya mereka meminum wedang uwoh dan ketela bakar yang ada. Dari minuman dan makanan yang sederhana, mampu memberikan kenikmatan yang terpancar di wajah-wajah mereka. Terlebih lagi di wajah sang kakek, wajah kepolosan , ketulusan dan kepasrahan pada Sang Ilahi terpancar di dirinya.
“Seto, kakek mau tanya memang selama ini apa yang telah kau perbuat dengan kedua tanganmu, hingga akhirnya dirimu merasa kehilangan, merasakan ketidakrelaan hingga membuatmu larut dalam kesedihan. Coba kamu jawab dengan jujur ngger,” tanya kakek Lowo Ireng
Lama terdiam Gagak Seto mendengar pertanyaan itu, sungguh pertanyaan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dirinya dibuat tertegun tak kuasa dirinya menjawabnya. Sebuah pertanyaan sederhana yang terasa berat, hingga akhirnya dirinya berusaha menjawabnya.
“Terus terang kek, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku selama ini yang terbiasa saja menggunakan kedua tangan ini untuk bekerja, membantu kakek Gagak Rimang bercocok tanam, bermain dengan teman-temanku. Banyak sekali yang telah kulakukan dengan tanganku ini. Aku terbiasa dengan kedua tanganku, sekarang hanya sebelah tangan ini yang bisa kugunakan. Maka aku merasakan kehilangan kek. Kiranya hanya itulah kek yang bisa kujawab atas pertanyaan itu, tak kuasa diriku ini untuk menjawab lebih dari itu,” jawab Gagak Seto.
Sang kakek tertawa terbahak-bahak, terlihat giginya yang sudah tidak utuh lagi, kemudian diapun berkata, “Memang benar apa yang barusan cucu katakan. Angger terbiasa melakukan semuanya dengan menggunakan kedua tangan, maka begitu kehilangan salah satunya serasa begitu berat untuk melepasnya. Padahal masih ada tangan satunya yang bisa digunakan. Begitu rapuhnya diri ini, begitu kuatnya keterikatan akan apa yang sudah menjadi kebiasaan, terasa berat untuk melepaskannya. Seringkali seseorang merasakan kehilangan setelah apa yang selama ini menjadi miliknya hilang. Namun saat apa yang selama ini diakui sebagai miliknya ada, justru tidak disadari dengan benar keberadaannya. Menganggapnya sebagai sebuah kewajaran yang sudah seharusnya ada, hingga terasa aneh apabila tidak ada. Pernakah dirimu ini memperlakukan tanganmu sebagaimana mestinya, kau sadari keberadaannya . Kau rasakan bagaimana rasanya tangan ini menyentuh benda. Merasakan kenikmatan saat bergerak, menyentuh, meraba, memegang hingga saat melepaskannya. Merasakan saja, tidak lebih. Merasakan semua itu sebagai sebuah kenikmatan dan anugrahNya,” kata sang kekek
Untuk sesaat Gagak Seto terdiam, mencoba mencerna kata-kata yang barusan didengarnya. Sementara sang kakek membolak-balik ketela diatas bara api, agar tidak gosong. Tersenyum sang kakek melihat raut muka Gagak Seto yang tampak sedang merenungkan sesuatu.
Seperti ketela yang dipanggang dengan menggunakan api yang kecil, pelan-pelan dibakar dan dibalik agar tidak hangus terbakar, agar dapat masak dengan sempurna dan memberikan kenikmatan saat dimakan. Perlahan-lahan Gagak Seto diajak untuk melihat, mengamati dan merenungkan dari hal-hal yang selama ini dianggap sepele, dianggap biasa hingga akhirnya dirinya semakin dapat menerima segala sesuatu seperti adanya. Tidak lebih dan tidak kurang. Mempersiapkan dirinya dalam menjalani laku , hingga dirinya dapat menjadi seorang yang disebut Manungso.
“Bagaimana ngger, tampaknya dirimu masih bingung dengan apa yang barusan kakek katakan. Pelan-pelan saja kamu rasakan apa yang barusan kukatakan. Tanganmu telah kau gunakan untuk bekerja, membantu orang, bahkan untuk membunuh. Sadari bagaimana semua itu, gerakan itu sebagai kelanjutan akan apa yang ada dalam pikiranmu. Tanganmu bergerak tentu ada yang menyuruhnya bergerak, sadari semua itu. Buah-buah pikiran yang selalu muncul dalam dirimu. Disadari dan diamati agar dirimu selalu tersadar,” kata sang kakek sambil tersenyum.
“Mungkin kalau dirimu terlahir dengan sebelah tangan, dirimu tidak akan menanyakan dimanakah tanganku yang satunya dan dirimu tentu terbiasa dengan sebelah tanganmu. Kamu menerima ketidaksempurnaan yang kau miliki, mengapa sekarang harus kaupertanyakan lagi ketidaksempurnaan itu. Menerima semua itu sebagai suatu anugrah, karena bukankah selama ini kau rasakan sakit pada sebelah tanganmu sebelum lepas dari ragamu. Bahkan mungkin kakekmu Gagak Rimang sudah mengetahui penyakit yang tertanam di tanganmu, namun dirinya tak tega karena untuk menyembuhkannya harus kau relakan tanganmu itu. Hingga akhirnya gadis bercadar lembayung secara tidak sengaja memenggal tanganmu, bukankah itu sebuah anugerah. Dirimu terbebas dari penyakit yang kalau dibiarkan saja mau sang maut akan segera menjemputmu,” lanjutnya.
Gagak Seto masih belum bisa menerima penjelasan kakek Lowo Ireng, maka diapun bertanya, “ Kalaulah semua itu harus kuterima sebagai suatu anugerah kek, haruskah waktu itu aku menolong wanita yang waktu itu akan diperkosa? Bukankah kalau aku tidak menolong, aku tidak akan membunuh mereka dan dirikupun tidak akan kehilangan sebelah tanganku.”
“Seto, sekarang jawab pertanyaanku ini. Siapakah dirimu ini dan bagaimana kakekmu mengajarkan dalam hidup ini,” tanya sang kakek.
“Aku hanyalah seorang pemuda dusun, oleh kakek diajarin sedikit ilmu kanuragan untuk berjaga-jaga dan tentu saja untuk menolong sesama yang membutuhkan. Kakek Gagak Rimang mengajariku untuk menjadi seorang pendekar kek,” jawab Gagak Seto.
“Memang begitulah seharusnya, seperti yang kakekmu ajarkan dengan ilmu kanuragan yang diajarkan sebenarnya dirinya menginginkan dirimu menjadi seorang yang kuat secara lahir dan batin. Menjadi seorang pendekar yang memenuhi tugas dan kewajibannya untuk selalu membela yang benar, membela yang lemah dan tertindas, menegakkan keadilan. Jadi mengapa harus kau pertanyakan lagi, apa yang barusan kau pertanyakan. Bukankah menolong sesame sudah menjadi tugas dan kewajibanmu? Tak usah kau hasilnya dari tindakan yang harus kau lakukan. Janganlah terjebak akan hasil yang kaudapatkan akan sebuah tindakan. Lakukan saja apa yang menjadi tugas dan kewajibanmu dengan baik. Jagalah selalu dirimu, hati dan pikiranmu dari nafsu yang kan selalu meracunimu. Jangan biarkan nafsu mempengaruhi tindakan yang kau lakukan. Bertindaklah Seto, karena Gusti akan selalu menyertaimu,” kata sang kakek, “Pergilah tidur Seto, hari sudah larut malam. Kakek masih ingin berbincang-bincang dengan binatang malam.”
Gagak Seto pun menurut saja, diapun pamit dan memasuki gubuk untuk merebahkan dirinya. Menitpun berlalu ternyata dirinya belum bisa untuk memejamkan matanya, masih terngiang-ngiang di telinganya kata-kata Kakek Lowo Ireng. Direnungkan semuanya, dan memang benar adanya. Namun dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Lama dirinya terdiam, mata terasa belum bisa diajak tidur. Dibukanya jendela bilik kamarnya, terkejut dirinya melihat sang kekek sedang gelantungan di pohon dengan posisi terbalik kaki diatas dan kepala dibawah. Dalam hatinya diapaun bertanya, “Sedang apa kakek Lowo Ireng di sana? Apakah itu yang dinamakan topo ngalong?
Gagak Seto masih menangkap hal yang tersirat yang sedang ditunjukkan oleh sesorang yang sedang dilihat. Yang tampak dihadapan mata, seringkali menutupi sesuatu yang terkandung didalamnya.
No comments:
Post a Comment