Karena cinta diriku berada, karena cinta diriku bertindak, karena cinta diriku berkarya, dan karena CintaNya diriku kan kembali kepadaNya
Ditengah kegelapan malam, sesosok bayangan terus berlari. Terus berlari menyibak rerimbunan pohon yang dilewatinya, tidaka dipedulikannya lagi luka dan darah yang terus menetes dari sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin lemah dia berlari, hingga akhirnya hanya bisa berjalan dengan sempoyongan. Dan akhirnya diapun terkapar, terdiam terbungkus dengan dingin kabut yang menyelimutinya. Suara binatang malampun seakan dibungkam melihat keadaan dirinya, larut dalam kesedihan dan kepiluan seorang anak manusia.
Seseorang yang sedang terluka secara lahir dan batin biasanya akan merasakan kesedihan, kedukaan, kesusahan. Hingga tanpa disadarinya diapun larut dalam kesedihan dan kedukaan yang memang sudah siap untuk membelenggu, mengurung dan menguasainya. Merasakan semua itu sebagai beban akibat penderitaanya, sebagai bagian hidupnya, dan terus larut dalam beban yang semakin memberatkannya, seringkali berusaha menyingkirkan beban itu namun dirinya tak kuasa dan mulai menyalahkan akan keadaan yang dialaminya. Menyalahkan diri sendiri. Merasa dirinya sudah tidak berguna lagi , merasakan dirinya sebagai sampah kehidupan yang sungguh tak pantas lagi berada di dunia ini. Seolah-olah seluruh makhluk mentertawakan apa yang sekarang ini dihadapinya. Sebuah proses penyangkalan dan pembenaran sesaat akan keadaan yang dialami. Tanpa disadarinya bahwa semuanya itu merupakan sebagai bagian dari hidup, teman dan sahabat dari hidup, sebagai bunga-bunga kehidupan yang sangat indah apabila mampu dinikmati dengan penuh rasa syukur.
Ketika sang surya mulai mengusap dan menyelimuti semua makhluk dengan kehangatan dan kelembutan sinarnya, terbagunlah sosok itu. Masih terlihat rasa sakitnya, sekujur tubuhnya diperhatikan dan akhirnya terhenti di bekas luka yang sudah ditaburi ramuan . Luka yang mengharuskan dirinya untuk merelakan sebelah tangannya.
Terdiam, tersirat kesedihan sesaat hingga akhirnya dirinya terusik dengan bunyi langkah kaki seseorang kedalam gubuk tempat dia berada. Sesosok kakek, dengan pakaian sederhana seperti yang dikenakan orang pedesaan yang selama ini dilihatnya. Tiada keanehan dari kakek tersebut, sebuah senyum disela-sela giginya yang tidak utuh lagi, diberikannya saat matanya menatap kakek itu. Sebuah tatapan mata yang mengingatkan dirinya akan kakeknya selama ini dia tinggalkan. Kakek yang selama ini merawat dan membimbingnya sejak di masih bayi.
“Sudah bangun ngger , ayo buat berbaring atau bersandar dulu. Tidak usah kau paksakan dirimu, dan tak usah kau pikirkan yang telah terjadi. Nikmatilah gubuk kakek ini, anggaplah semuanya seperti rumah sendiri” kata sang kakek, “Sini kakek bantu bersandar di amben ini.”
“Sebentar ya ngger tak ambilkan bubur yang sudah kakek siapkan, biar ada badanmu lebih segar. “ kata sang kakek yang kemudian pergi ke dapur.
Gagak Seto memandang sang kakek, sambil merasakan badannya yang masih kesakitan. Terasa nyaman, suasana yang sudah lama tidak dirasakannya lagi semenjak dia meninggakkan kakeknya Gagak Rimang. Ada persamaan di keduanya, yang membuat dirinya merasa tidak canggung lagi terhadapnya.
Tak berapa lama, sang kakek kembali membawakan bubur dan minuman hangat. Gagak Seto dengan lahapnya menghabiskan semua yang ada. Sang kakek memperhatikan semua itu dengan tersenyum, teringat cucunya yang sedang pergi merantau.
“Bagaimana ngger, sudah sedikit enakan sekarang?” Tanya sang kakek.
“Sudah kek, matur nuwun kek sudah menolong saya. Cuma dimanakah saya sekarang kek, apa yang terjadi dengan diriku kek?” sahut Gagak Seto.
“Justru itu ngger, kamu itu siapa dan bagaimana dirimu bias terluka seperti itu. Kakek hanya menemukan dirimu tergeletak di pinggir hutan, makanya kubawa ke gubuk ini. Kakek bersihkan lukamu, dan kuobati sedapat yang bias kakek lakukan. Coba kamu tenangkan dulu dirimu, kamu ingat-ingat kembali apa yang telah terjadi.” Kata kakek.
Terdiam dirinya, diingatnya kembali apa yang dialaminya. Pelan-pelan semakin jelas gambaran-gambaran kejadian yang telah dilaluinya, termasuk bagaimana dirinya mengharuskan kehilangan sebelah tangannya. Tebasan pedang dari seorang wanita bercadar lembayung masih terasa.
“Saya Gagak Seto kek, hanyalah sebuah pengembara yang sedang melakukan pencarian orangtua saya di Gunung Tugel. Ditengah perjalanan saya mendengar seorang perempuan desa berteriak minta tolong. Sayapun berlari menuju asal suara itu, sungguh sebuah pemandangan yang sangat menyedihkan melihat seorang perempuan sedang menjadi permainan sekelompok orang. Dengan enaknya mereka mempermainkannya, hingga akhirnya sayapun berusaha menyelamatkannya. Memang untuk sesaat saya berhasil kek, namun ternyata mereka sungguh licik. Disaat saya sedang bertarung , sebagian orang ternyata membunuh perempuan itu. Sayapun marah, hingga akhirnya saya habisi orang-orang itu. Sebagian besar tewas, namun ada beberapa yang melarikan diri,” kata Gagak Seto .
Sang kakek, mendengarkan dengan seksama cerita yang tersebut, sambil sesekali menganggukan kepalanya.
“Tanpa sadar sayapun larut dalam nafsu amarah, tinggal penyesalan melihat mayat yang bergelimpangan. Tak ada bedanya saya dengan mereka, hanya caranya saja yang berbeda. Kemudian sayapun melanjutkan perjalanan, namun tetap saja rasa penyesalan itu muncul. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sekelompok orang yang telah mengurung, dan merekapun langsung menyerang bersamaan. Mula-mula saya tidak mengenali, namun akhirnya sayapun mengenal bahwa ada beberapa orang yang merupakan kelompok yang telah saya hancurkan sebelumnya. Rasa marah perlahan mylai muncul, rasa tidak senang, rasa kesal saya lampiaskan di situ. Awalnya saya mulai bisa mendesak gerombolan itu, namun kemudian muncul sesosok perempuan menggunakan cadar berwarna lembayung. Dengan gesitnya dia menyerang, sungguh lincah sekali gerakannya. Mungkin kalau satu lawan satu , saya masih bias mengimbanginya. Namun karena dikeroyok bersamaan, maka perhatian saya menjadi terpecah. Terlebih saya sudah mulai terbawa nafsu amarah, sehingga kurang hati-hati dan ingin secepatnya menghancurkan mereka. Disuatu saat sayapun terlena, hingga akhirnya saya harus merelakan sebelah tangan saya ini Kek. Saya semakin membabi buta memeberikan perlawan, namun karena rasa sakit di lengan, maka dengan sangat terpaksa sayapun lari sekencang-kencangnya.” Kata Gagak Seto
“Sambil berlari, saya tumpahkan rasa kecewa, amarah, kesal, terdhadap apa saja yang menghalangi lariku. Merasa diri ini dihina, direndahkan hingga akhirnya sayapun tidak sadarkan diri. Dan setelah sadar, saya sudah berada disini Kek. Kiranya demikian cerita saya, maaf telah merepotkan kakek. Terima kasih juga atas pertolongannya, mungkin kalau tidak ada kakek diriku tidak seperti sekarang ini,” sekali lagi Gagak Seto menghaturkan hormat kepada yang kakek yang ada di hadapannya.
Sang Kakek masih saja tersenyum, sambil mengelus-elus janggutnya yang memutih. Terlihat sinar kedamaian, keteduhan yang terpancar dari wajahnya.
“Ngger cucuku, tak usah kau merasa sungkan. Semua yang kakek lakukan merupakan hal yang biasa. Bukankah hidup ini sudah sewajarnya saling tolong-menolong. Seperti juga dengan alam sekitar, akan selalu menolong asal kita sendiri mampu hidup selaras dengan alam sekitar. Semua yang kakek lakukan hanyalah sebagai wujud nyata dari karya-karya Dia yang selalu hadir, saat itu lewat raga kakek yang mulai rapuh ini Dia memberikan pertolongan kepadamu, mengobatimu hingga akhirnya sekarang kita bias berbincang-bincang. Karena CintaNya kakek ada, karena CintaNya kakek ada menolongmu dan sekarang ini bersamamu, karena CintaNya pula kakek kelak akan kembali, “ kata Sang kakek sambil tersenyum.“Sudah, istirahat lagi cucuku. Nanti malam kita lanjutkan lagi bincang-bincangnya. Anggap saja kakek ini kakekmu sendiri, sahabatku sendiri yang telah lama tidak bertemu. Kakek biasa disebut orang Lowo Ireng, maklum kakek yang terbiasa ditempat kegelapan hingga nama itupun diberikan orang. Kakek mau jalan-jalan dulu ke hutan, mengunjungi teman-teman yang pasti sudah menunggu.”
Ditatapnya kakek Lowo Ireng yang ternyata sahabat dari kakeknya, termenung dirinya merenungkan kata-kata yang barusan didengarnya.
Bagaimana mungkin diriku ini bersahabat dengan alam yang maha luas ini?
Bagaimana caranya agar diriku bisa hidup selaras dengan semesta?
Benarkah Dia selalu hadir dalam setiap hidupku, setiap karyaku?
Kalau selalu hadir kenapa diriku bisa membunuh sesamaku ?
Kenapa juga harus kurelakan tanganku ini hanya untuk menolong seorang manusia?
No comments:
Post a Comment