Monday, November 29, 2010

Jejak Langkah Gagak Seto ~ Ketika Ku Kecil

Ketika diriku masih kecil diriku dikenalkan dengan segenap indra yang melekat di raga ini, begitu hafalnya diriku akan nama dan fungsinya
Namun ternyata aku belum mengenal dan memahami sepenuhnya sebagai bagian dari hidupku

            Masih termenung Gagak Seto, merenungkan dan menemukan jawaban  atas pertanyaan yang timbul di dirinya. Setiap kali dirinya menemukan jawaban atas satu pertanyaan timbul pertanyaan lagi yang akhirnya dirinya tidak bisa menemukan jawabannya. Hingga akhirnya dia mencoba untuk membuang semua pertanyaan itu dan merebahkan dirinya. Menghabiskan waktu yang tersisa untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.
            Sang waktu seakan menyadari kegalauan hati Gagak Seto, terus bergerak hingga akhirnya tibalah saatnya mentari untuk meredupkan sinarnya digantikan cahaya bulan untuk menerangi gelapnya malam. Suara binatang malampun semakin menambah keheningan malam. Tampak disebuah beranda gubuk Gagak Seto dan Kakek Lowo Ireng sedang duduk bercengkrama. Seperti layaknya seorang cucu dan kekeknya, tampak kedekatan yang sudah lama terbangun dari sebuah hubungan yang muncul secara kebetulan.

“Bagaimana Seto cucuku, sepertinya kondisimu sudah lebih segar, lebih sehat ngger?” tanya sang kakek.

“Sudah Kek, berkat ramuan yang kakek berikan dan suasana yang ada membuat saya terasa nyaman. Badan terasa lebih segar. Namun tetap saja kek, hati dan pikiran iini masih ada yang membebani,” kata Gagak Seto, “rasanya diri masih tidak rela kehilangan sebelah tangan ini kek.”

“Walah begitu saja kok masih dipikirkan to ngger? Mbok ya sudah, ayo temenin kakek minum wedang uwoh  ini . Sambil makan ketela bakar nanti kita berbincang-bincang lagi,” kata sang kakek.

Dengan enaknya mereka meminum wedang uwoh dan ketela bakar yang ada. Dari minuman dan makanan yang sederhana, mampu memberikan kenikmatan yang terpancar di wajah-wajah mereka. Terlebih lagi di wajah sang kakek, wajah kepolosan , ketulusan dan kepasrahan pada Sang Ilahi terpancar di dirinya.

“Seto, kakek mau tanya memang selama ini apa yang telah kau perbuat dengan kedua tanganmu, hingga akhirnya dirimu merasa kehilangan, merasakan ketidakrelaan hingga membuatmu larut dalam kesedihan. Coba kamu jawab dengan jujur ngger,” tanya kakek Lowo Ireng

Lama terdiam Gagak Seto mendengar pertanyaan itu, sungguh pertanyaan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dirinya dibuat tertegun tak kuasa dirinya menjawabnya.  Sebuah pertanyaan sederhana yang terasa berat, hingga akhirnya dirinya berusaha menjawabnya.

“Terus terang kek, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku selama ini yang terbiasa saja menggunakan kedua tangan ini untuk bekerja, membantu kakek Gagak Rimang bercocok tanam, bermain dengan teman-temanku. Banyak sekali yang telah kulakukan dengan tanganku ini. Aku terbiasa dengan kedua tanganku, sekarang hanya sebelah tangan ini yang bisa kugunakan. Maka aku merasakan kehilangan kek. Kiranya hanya itulah kek yang bisa kujawab atas pertanyaan itu, tak kuasa diriku ini untuk menjawab lebih dari itu,” jawab Gagak Seto.

Sang kakek tertawa terbahak-bahak, terlihat giginya yang sudah tidak utuh lagi, kemudian diapun berkata, “Memang benar apa yang barusan cucu katakan. Angger  terbiasa melakukan semuanya dengan menggunakan kedua tangan, maka begitu kehilangan salah satunya serasa begitu berat untuk melepasnya. Padahal masih ada tangan satunya yang bisa digunakan. Begitu rapuhnya diri ini, begitu kuatnya keterikatan akan apa yang sudah menjadi kebiasaan, terasa berat untuk melepaskannya. Seringkali seseorang merasakan kehilangan setelah apa yang selama ini menjadi miliknya hilang. Namun saat apa yang selama ini diakui sebagai miliknya ada, justru tidak disadari dengan benar keberadaannya. Menganggapnya sebagai sebuah kewajaran yang sudah seharusnya ada, hingga terasa aneh apabila tidak ada. Pernakah dirimu ini memperlakukan tanganmu sebagaimana mestinya, kau sadari keberadaannya . Kau rasakan bagaimana rasanya tangan ini menyentuh benda. Merasakan kenikmatan saat bergerak, menyentuh, meraba, memegang hingga saat melepaskannya. Merasakan saja, tidak lebih. Merasakan semua itu sebagai sebuah kenikmatan dan anugrahNya,” kata sang kekek 

Untuk sesaat Gagak Seto terdiam, mencoba mencerna kata-kata yang barusan didengarnya. Sementara sang kakek membolak-balik ketela diatas bara api, agar tidak gosong. Tersenyum sang kakek melihat raut muka Gagak Seto yang tampak sedang merenungkan sesuatu.

Seperti ketela yang dipanggang dengan menggunakan api yang kecil, pelan-pelan dibakar dan dibalik agar tidak hangus terbakar, agar dapat masak dengan sempurna dan memberikan kenikmatan saat dimakan. Perlahan-lahan Gagak Seto diajak untuk melihat, mengamati dan merenungkan dari hal-hal yang selama ini dianggap sepele, dianggap biasa hingga akhirnya dirinya semakin dapat menerima segala sesuatu seperti adanya. Tidak lebih dan tidak kurang. Mempersiapkan dirinya dalam menjalani laku , hingga dirinya dapat menjadi seorang yang disebut Manungso.

“Bagaimana ngger, tampaknya dirimu masih bingung dengan apa yang barusan kakek katakan. Pelan-pelan saja kamu rasakan apa yang barusan kukatakan. Tanganmu telah kau gunakan untuk bekerja, membantu orang, bahkan untuk  membunuh. Sadari bagaimana semua itu, gerakan itu sebagai kelanjutan akan apa yang ada dalam pikiranmu. Tanganmu bergerak tentu ada yang menyuruhnya bergerak, sadari semua itu. Buah-buah pikiran yang selalu muncul dalam dirimu. Disadari dan diamati agar dirimu selalu tersadar,” kata sang kakek sambil tersenyum.

“Mungkin kalau dirimu terlahir dengan sebelah tangan, dirimu tidak akan menanyakan dimanakah tanganku yang satunya dan dirimu tentu terbiasa dengan sebelah tanganmu. Kamu menerima ketidaksempurnaan yang kau miliki, mengapa sekarang harus kaupertanyakan lagi ketidaksempurnaan itu. Menerima semua itu sebagai suatu anugrah, karena bukankah selama ini kau rasakan sakit pada sebelah tanganmu sebelum lepas dari ragamu. Bahkan mungkin kakekmu Gagak Rimang sudah mengetahui penyakit yang tertanam di tanganmu, namun dirinya tak tega karena untuk menyembuhkannya harus kau relakan tanganmu itu. Hingga akhirnya gadis bercadar lembayung secara tidak sengaja memenggal tanganmu, bukankah itu sebuah anugerah. Dirimu terbebas dari penyakit yang kalau dibiarkan saja mau sang maut akan segera menjemputmu,” lanjutnya.

Gagak Seto masih belum bisa menerima penjelasan kakek Lowo Ireng, maka diapun bertanya, “ Kalaulah semua itu harus kuterima sebagai suatu anugerah kek, haruskah waktu itu aku menolong wanita yang waktu itu akan diperkosa? Bukankah kalau aku tidak menolong, aku tidak akan membunuh mereka dan dirikupun tidak akan kehilangan sebelah tanganku.”

“Seto, sekarang jawab pertanyaanku ini. Siapakah dirimu ini dan bagaimana kakekmu mengajarkan dalam hidup ini,” tanya sang kakek.

“Aku hanyalah seorang pemuda dusun, oleh kakek diajarin sedikit ilmu kanuragan untuk berjaga-jaga dan tentu saja untuk menolong sesama yang membutuhkan. Kakek Gagak Rimang mengajariku untuk menjadi seorang pendekar kek,” jawab Gagak Seto.

“Memang begitulah seharusnya, seperti yang kakekmu ajarkan dengan ilmu kanuragan yang diajarkan sebenarnya dirinya menginginkan dirimu menjadi seorang yang kuat secara lahir dan batin. Menjadi seorang pendekar yang memenuhi tugas dan kewajibannya untuk selalu membela yang benar, membela yang lemah dan tertindas, menegakkan keadilan. Jadi mengapa harus kau pertanyakan lagi, apa yang barusan kau pertanyakan. Bukankah menolong sesame sudah menjadi tugas dan kewajibanmu? Tak usah kau hasilnya dari tindakan yang harus kau lakukan. Janganlah terjebak akan hasil yang kaudapatkan akan sebuah tindakan. Lakukan saja apa yang menjadi tugas dan kewajibanmu dengan baik. Jagalah selalu dirimu, hati dan pikiranmu dari nafsu yang kan selalu meracunimu. Jangan biarkan nafsu mempengaruhi tindakan yang kau lakukan. Bertindaklah Seto, karena Gusti akan selalu menyertaimu,” kata sang kakek, “Pergilah tidur Seto, hari sudah larut malam. Kakek masih ingin berbincang-bincang dengan binatang malam.”

Gagak Seto pun menurut saja, diapun pamit dan memasuki gubuk untuk merebahkan dirinya. Menitpun berlalu ternyata dirinya belum bisa untuk memejamkan matanya, masih terngiang-ngiang di telinganya kata-kata Kakek Lowo Ireng. Direnungkan semuanya, dan memang benar adanya. Namun dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Lama dirinya terdiam, mata terasa belum bisa diajak tidur. Dibukanya jendela bilik kamarnya, terkejut dirinya melihat sang kekek sedang gelantungan di pohon dengan posisi terbalik kaki diatas dan kepala dibawah. Dalam hatinya diapaun bertanya, “Sedang apa kakek Lowo Ireng di sana? Apakah itu yang dinamakan topo ngalong?

Gagak Seto masih menangkap hal yang tersirat yang sedang ditunjukkan oleh sesorang yang sedang dilihat. Yang tampak dihadapan mata, seringkali menutupi sesuatu yang terkandung didalamnya.

Jejak Langkah Gagak Seto ~ Karena Cinta

Karena cinta diriku berada, karena cinta diriku bertindak, karena cinta diriku berkarya, dan karena CintaNya diriku kan kembali kepadaNya 
 
Ditengah kegelapan malam, sesosok bayangan terus berlari. Terus berlari menyibak rerimbunan pohon yang dilewatinya, tidaka dipedulikannya lagi luka dan darah yang terus menetes dari sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin lemah dia berlari, hingga akhirnya hanya bisa berjalan dengan sempoyongan. Dan akhirnya diapun terkapar, terdiam terbungkus dengan dingin kabut yang menyelimutinya. Suara binatang malampun seakan dibungkam melihat keadaan dirinya, larut dalam kesedihan dan kepiluan seorang anak manusia.

Seseorang yang sedang terluka secara lahir dan batin biasanya akan merasakan kesedihan, kedukaan, kesusahan. Hingga tanpa disadarinya diapun larut dalam kesedihan dan kedukaan yang memang sudah siap untuk membelenggu, mengurung dan menguasainya. Merasakan semua itu sebagai beban akibat penderitaanya, sebagai bagian hidupnya, dan terus larut dalam  beban yang semakin memberatkannya, seringkali berusaha menyingkirkan beban itu namun dirinya tak kuasa dan mulai menyalahkan akan keadaan yang dialaminya. Menyalahkan diri sendiri. Merasa dirinya sudah tidak berguna lagi , merasakan dirinya sebagai sampah kehidupan yang sungguh tak pantas lagi berada di dunia ini. Seolah-olah seluruh makhluk mentertawakan apa yang sekarang ini dihadapinya. Sebuah proses penyangkalan dan pembenaran sesaat akan keadaan yang dialami. Tanpa disadarinya bahwa semuanya itu merupakan sebagai bagian dari hidup, teman dan sahabat dari hidup, sebagai bunga-bunga kehidupan yang sangat indah apabila mampu dinikmati dengan penuh rasa syukur

Ketika sang surya mulai mengusap dan menyelimuti semua makhluk dengan kehangatan dan kelembutan sinarnya, terbagunlah sosok itu. Masih  terlihat rasa sakitnya, sekujur tubuhnya diperhatikan dan akhirnya terhenti di bekas luka yang sudah ditaburi ramuan . Luka yang mengharuskan dirinya untuk merelakan sebelah tangannya. 

Terdiam, tersirat kesedihan sesaat hingga akhirnya dirinya terusik dengan bunyi langkah kaki seseorang kedalam gubuk  tempat dia berada. Sesosok kakek, dengan pakaian sederhana seperti yang dikenakan orang pedesaan yang selama ini dilihatnya. Tiada keanehan dari kakek tersebut, sebuah senyum disela-sela giginya yang tidak utuh lagi, diberikannya saat matanya menatap kakek itu. Sebuah tatapan mata yang mengingatkan dirinya akan kakeknya selama ini dia tinggalkan. Kakek yang selama ini merawat dan membimbingnya sejak di masih bayi.

“Sudah bangun ngger , ayo buat berbaring atau bersandar dulu. Tidak usah kau paksakan dirimu, dan tak usah kau pikirkan yang telah terjadi. Nikmatilah gubuk kakek ini, anggaplah semuanya seperti rumah sendiri” kata sang kakek, “Sini kakek bantu bersandar di amben ini.”

“Sebentar ya ngger tak ambilkan bubur yang sudah kakek siapkan, biar ada badanmu lebih segar. “ kata sang kakek  yang kemudian pergi ke dapur. 

Gagak Seto memandang sang kakek, sambil merasakan badannya  yang masih kesakitan. Terasa nyaman, suasana yang sudah lama tidak dirasakannya lagi semenjak dia meninggakkan kakeknya Gagak Rimang. Ada persamaan di keduanya, yang membuat dirinya merasa tidak canggung lagi terhadapnya.

Tak berapa lama, sang  kakek kembali membawakan bubur dan minuman hangat.  Gagak Seto dengan lahapnya menghabiskan semua yang ada. Sang kakek memperhatikan semua itu dengan tersenyum, teringat cucunya yang sedang pergi merantau. 

“Bagaimana ngger, sudah sedikit enakan sekarang?” Tanya sang kakek.

“Sudah kek, matur nuwun kek sudah menolong saya. Cuma dimanakah saya sekarang kek, apa yang terjadi dengan diriku kek?” sahut Gagak Seto.

“Justru itu ngger, kamu itu siapa dan bagaimana dirimu bias terluka seperti itu. Kakek hanya menemukan dirimu tergeletak di pinggir hutan, makanya kubawa ke gubuk ini. Kakek bersihkan lukamu, dan kuobati sedapat yang bias kakek lakukan. Coba kamu tenangkan dulu dirimu, kamu ingat-ingat kembali apa yang telah terjadi.” Kata kakek.

Terdiam dirinya, diingatnya kembali apa yang dialaminya. Pelan-pelan semakin jelas gambaran-gambaran kejadian yang telah dilaluinya, termasuk bagaimana dirinya mengharuskan kehilangan sebelah tangannya. Tebasan pedang dari seorang wanita bercadar lembayung masih terasa.

“Saya Gagak Seto kek, hanyalah sebuah pengembara yang sedang melakukan pencarian orangtua saya di Gunung Tugel. Ditengah perjalanan saya mendengar seorang perempuan desa berteriak minta tolong. Sayapun berlari menuju asal suara itu, sungguh sebuah pemandangan yang sangat menyedihkan melihat seorang perempuan sedang menjadi permainan sekelompok orang. Dengan enaknya mereka mempermainkannya, hingga akhirnya sayapun berusaha menyelamatkannya. Memang untuk sesaat saya berhasil kek, namun ternyata mereka sungguh licik. Disaat saya sedang bertarung , sebagian orang ternyata membunuh perempuan itu. Sayapun marah, hingga akhirnya saya habisi orang-orang itu. Sebagian besar tewas, namun ada beberapa yang melarikan diri,” kata Gagak Seto .

Sang kakek, mendengarkan dengan seksama cerita yang tersebut, sambil sesekali menganggukan kepalanya.

“Tanpa sadar sayapun larut dalam nafsu amarah, tinggal penyesalan melihat mayat yang bergelimpangan. Tak ada bedanya saya dengan mereka, hanya caranya saja yang berbeda. Kemudian sayapun melanjutkan perjalanan, namun tetap saja rasa penyesalan itu muncul. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sekelompok orang yang telah mengurung, dan merekapun langsung menyerang bersamaan. Mula-mula saya tidak mengenali, namun akhirnya sayapun mengenal bahwa ada beberapa orang yang merupakan kelompok yang telah saya hancurkan sebelumnya. Rasa marah perlahan mylai muncul, rasa tidak senang, rasa kesal saya lampiaskan di situ. Awalnya saya mulai bisa mendesak gerombolan itu, namun kemudian muncul sesosok perempuan menggunakan cadar berwarna lembayung. Dengan gesitnya dia menyerang, sungguh lincah sekali gerakannya. Mungkin kalau satu lawan satu , saya masih bias mengimbanginya. Namun karena dikeroyok bersamaan, maka perhatian saya menjadi terpecah. Terlebih saya sudah mulai terbawa nafsu amarah, sehingga kurang hati-hati dan ingin secepatnya menghancurkan mereka. Disuatu saat sayapun terlena, hingga akhirnya saya harus merelakan sebelah tangan saya ini Kek. Saya semakin membabi buta memeberikan perlawan, namun karena rasa sakit di lengan, maka dengan sangat terpaksa sayapun lari sekencang-kencangnya.” Kata Gagak Seto

“Sambil berlari, saya tumpahkan rasa kecewa, amarah, kesal, terdhadap apa saja yang menghalangi lariku. Merasa diri ini dihina, direndahkan hingga akhirnya sayapun tidak sadarkan diri. Dan setelah sadar, saya sudah berada disini Kek. Kiranya demikian cerita saya, maaf telah merepotkan kakek. Terima kasih juga atas pertolongannya, mungkin kalau tidak ada kakek diriku tidak seperti sekarang ini,” sekali lagi Gagak Seto menghaturkan hormat kepada yang kakek yang ada di hadapannya.

Sang Kakek masih saja tersenyum, sambil mengelus-elus janggutnya yang memutih. Terlihat sinar kedamaian, keteduhan yang terpancar dari wajahnya.

“Ngger cucuku, tak usah kau merasa sungkan. Semua yang kakek lakukan merupakan hal yang biasa. Bukankah hidup ini sudah sewajarnya saling tolong-menolong. Seperti juga dengan alam sekitar, akan selalu menolong asal kita sendiri mampu hidup selaras dengan alam sekitar. Semua yang kakek lakukan hanyalah sebagai wujud nyata dari karya-karya Dia yang selalu hadir, saat itu lewat raga kakek yang mulai rapuh ini Dia memberikan pertolongan kepadamu, mengobatimu hingga akhirnya sekarang kita bias berbincang-bincang. Karena CintaNya kakek ada, karena CintaNya kakek ada menolongmu dan sekarang ini bersamamu, karena CintaNya pula kakek kelak akan kembali, “ kata Sang kakek sambil tersenyum.“Sudah, istirahat lagi cucuku. Nanti malam kita lanjutkan lagi bincang-bincangnya. Anggap saja kakek ini kakekmu sendiri, sahabatku sendiri yang telah lama tidak bertemu. Kakek biasa disebut orang Lowo Ireng, maklum kakek yang terbiasa ditempat kegelapan hingga nama itupun diberikan orang. Kakek mau jalan-jalan dulu ke hutan, mengunjungi teman-teman yang pasti sudah menunggu.”

Ditatapnya kakek Lowo Ireng yang ternyata sahabat dari kakeknya, termenung dirinya merenungkan kata-kata yang barusan didengarnya.

Bagaimana mungkin diriku ini bersahabat dengan alam yang maha luas ini?
Bagaimana caranya agar diriku bisa hidup selaras dengan semesta?
Benarkah Dia selalu hadir dalam setiap hidupku, setiap karyaku?
Kalau selalu hadir kenapa diriku bisa membunuh sesamaku ?
Kenapa juga harus kurelakan tanganku ini hanya untuk menolong seorang manusia?

Thursday, November 25, 2010

Celoteh Si Kecil ~ Baik Atau Buruk

Menjelang malam seorang bapak (B) menemani si kecil (K) yang sedang belajar. Maklum masih kecil maka yang dipelajarinya di sekolah belajar mengenal dan menulis angka dan huruf. Dengan tangannya yang kecil diulanginya lagi pelajaran yang didapatkannya di sekolah. Tentu saja sambil sesekali mengeluh dan terburu-buru agar dirinya secepatnya dapat menonton film kesukaannya. Setelah dirasanya cukup diapun menghentikan belajarnya.

K : “Pak, sudah ya. Aku dah capek je, mau nonton film Power Rangger ya. Bagaimana pak benar tidak tulisanku? Bagus tidak tulisanku,” tanya si kecil kepada bapaknya. Dan si bapak hanya bisa tersenyum melihat dan mendengar apa yang dikatakan anaknya.

B : “Sudah capek le, lha bagaimana tidak capek kalau dirimu merasakan belajar itu sebuah keterpaksaan. Tentu saja semakin lama kamu belajar semakin dirimu merasa capek, merasa menjadi beban hingga nantinya kamu hanya akan belajar ada yang melihatmu belajar . Bukan begitu caramu belajar. Coba lihat bapak ini le, bukankah bapak juga seringkali belajar denganmu merangkai mainan yang semula terpisah-pisah hingga akhirnya menjadi bentuk robot, monster atau mainan yang akhirnya dirmu sukai. Dulu bapak juga belajar berjalan bersama-sama dengan dirimu disaat dirimu juga sedang belajar berjalan. Berdua kita belajar berjalan, terkadang bapak jatuh atau dirimu . Tapi tetap saja kita berdua terus belajar berjalan, hingga akhirnya dirimu bisa berjalan bahkan berlari seperti sekarang. Bapakpun juga akhirnya bisa berjalan kembali. Jadi saat belajar  menulis sama saja saat dirimu belajar berjalan dahulu.,” kata sang bapak.

K : “Iya pak. Tapi aku kok seringkali males je. Lagian tulisanku bagaimana pak, baik atau buruk?.”

B : “Ya itu wajar le, setiap kali belajar tentu saja akan mengalami seperti  itu. Rasa bosan, merasa itu-itu saja yang dipelajari, menjadikannya sebagai sebuah rutinitas belaka bahkan mungkin merasa dirimu sudah pintar sehingga buat apa belajar yang itu-itu saja. Merasa cepat puas, merasa sudah bisa. Semua itu hanyalah sebuah tipuan, perasaan yang muncul yang akan membuatmu lupa akan makna dari belajar itu sendiri. Coba ingat kembali. Kalaulah dirimu sudah merasa bisa, kenapa masih saja sering melakukan kesalahan yang sama dalam menulis huruf atau angka. Bukankah akan lebih baik kamu lihat lagi hasil tulisanmu, bukan benar atau salah yang kau persoalkan. Lihat lagi tiap huruf atau angka yang telah kau tulis, bandingkan dengan contoh yang ada. Mungkin sekali waktu kamu juga harus memperhatikan tulisan teman-teman dan caranya mereka menulis. Semua contoh huruf atau angka hanyalah sebuah contoh hingga akhirnya dirimu dapat menulis huruf dan angka .Menulis dan merangkai angka dengan caramu sendiri. Dan hasil tulisanmu dan teman-temanmu akan berbeda-beda sesuai dengan cara kalian menulis masing-masing. Dibutuhkan ketekunan dan kejujuran dirimu dalam belajar hingga akhirnya dirimu akan terus belajar . “

Si Kecil tersenyum mendengar sindiran sang bapak, sambil manggut-mangggut pula dirinya mendengarkan penjelasan bapaknya.

B : “Sekarang lihat ini, ini angka 6 atau 9. Kalau dirimu menjadi anak yang kaku tentu akan bilang angka 6, padahal kalau bapak putar bukankah menjadi angka 9 . Kira-kira seperti itulah caramu harusnya belajar, memahami dengan benar apa yang sedang dan seharusnya kamu pelajari . Dan diperlukan cara berfikir yang terbuka terhadap segala kemungkinan yang timbul dari apa yang kamu pelajari. Sehingga dengan memahami dan berfikir terbuka dirimu tidak cepat merasa puas, merasa paling pintar, justru akan mendorongmu untuk terus belajar dan menemukan hal-hal baru dari apa saja yang kamu pelajari.”

Si Kecil tersenyum dan mengiyakan. Walaupun mungkin dirinya belum sepenuhnya paham akan yang barusan didengarnya.

K : “Pak besok kan ke Gereja to, jadi asyik dong bisa beli mainan. Aku mau cari robot kesukaanku.”

B : “Punya uang po le, mendingan ditabung dulu  biar kalau sudah terkumpul bisa buat beli peralatan melukis hingga ntar dirimu bisa belajar melukis. Lagian le, mosok kamu ingatnya kalau ke Gereja hanya biar bisa beli mainan to. Lha wong ke gereja itu untuk berdoa, sebagai salah satu cara bertemu dengan Gusti bukan Bertemu dengan MAINAN…..”

Si kecil tertawa dan sang bapak juga tertawa

B : “Ayo sekarang belajar memijat ya. Bapak tak mijat dirimu, rasakan ya le bagaimana enaknya pijatannya, gerakan tangan bapak dengan minyak yang tak olehkan di badanmu. Rasakan enaknya dipijat dan kesegaran yang nantinya kau rasakan. Pelajari dan rasakan ya caranya memijat, jangan malah keenakan terus tertidur. Nanti gentian dirimu yang memijat bapak, lakukan seperti yang bapak lakukan tentu saja kau bebas melakukan gerakan memijat dengan caramu sendiri setelah dirimu paham cara memijat.”

Begitulah bagian dari celoteh Si Kecil, dimana si kecil dan si bapak sama-sama belajar,  berteman dalam perjalanan ini dengan terus berusaha melakukan tugas dan kewajiban yang sekarang ini harus dilakukannya.

Celoteh Si Kecil ~ Ber'Tindak'

Seperti biasanya mengisi hari libur, sang bapak (B) dan si kecil (K) jalan-jalan. Kali ini mereka berdua berjalan-jalan ke sawah, mencari kecebong dan ikan cetho. Menyusuri pematang sawah mereka berjalan sambil sesekali melihat barangkali ada kecebong atau cetho. Hingga akhirnya mereka istirahat di bawah pohon pisang. Tak jauh dari situ ada seorang simbah (S) petani sedang mencari rumput. Melihat itu si kecil bertanya

K : "Pak, simbah itu lagi ngapain " katanya sambil mengusap keringatnya.

B : "Lagi mencari  rumput (ngarit) le, tapi agar kamu lebih mengetahui coba kamu tanyakan  sendiri ke simbah itu. Ayo bapak temenin nanya sama simbah itu le."

Mereka berduapun  mendekati simbah yang sedang asik mengarit (memotong rumput), setelah memberikan salam maka si kecilpun bertanya.

K : "Mbah, sedang apa , kok dari tadi mukul-mukul rumput to mbah?"

S : "Hehehehe, wah cucu simbah lucu tenan. Simbah lagi ngarit buat memberi makan kerbau di kandang. Coba cu sekarang simbah ajarin ngarit ya." jawab simbah sambil meminjamkan arit nya kepada si kecil.

Si kecilpun langsung diberikan arit, bukan gagang yang dipegangnya tapi bilah arit yang dipegangnya. Simbah terkekeh-kekeh melihat kelakuan si kecil, kemudian diajarkannya caranya memegang arit, mengayunkannya ke rumput hingga akhirnya si kecil paham dan dapat mengarit dengan benar.

S : "Begitulah cu kiranya cara mengarit yang bisa simbah ajarkan. Sekarang dirimu bisa memahami arit, rumput dan dirimu sebagai sebuah kesatuan. Semoga ini bisa menjadikan bekal bagimu dalam menapaki  perjalanan yang harus kau tempuh. Simbah hanya bisa terus berusaha merawat padi-padi yang ada, agar dapat mengahasilkan beras yang pulen. Beras alami yang mudah-mudahan memberikan rasa yang terbaik yang bisa cucu rasakan." kata Simbah sambil memberikan penjelasan kepada si kecil tentang semua yang baru saja dia pelajari.

Setelah berbincang-bindang cukup lama, sang bapak dan si kecil pamit untuk kembali kerumah dan Simbah meneruskan menyiangi tanaman padi. Sampai di rumah sambil selonjoran di tikar si bapak ngobrol lagi sama si kecil.

B : "Benar le apa yang tadi dikatakan Simbah. Dirinya mengajari dirimu caranya dirimu harus bertindak. Bertindaklah sesuai dengan tugas dan kewajibanmu. Contoh sederhananya sekarang dirimu masih sekolah, ya terus belajarlah yang giat, carilah ilmu dengan tekun, pahami semuanya yang sedang kau pelajari yang nantinya menjadi bekal dirimu. Tetap semangat dan berusahalah untuk selalu jujur dengan dirimu sendiri. Belajarlah dan jadilah dirimu sendiri, berikan yang terbaik yang bisa kaulakukan. Jangan kau terus mengaharapkan bagian atau hak yang semestinya kau peroleh apalagi itu kalau bukan menjadi hak mu . Bapakpun sekarang hanya bisa untuk terus bekerja dan membimbing dirimu, menjadi temanmu ngobrol. Kawan seperjalanan dalam menapaki jalan hidup ini ya le."

Si kecil pun hanya manggut-manggut, sambil memijit-mijit kakinya . Mungkin kecapaian waktu jalan-jalan disawah tadi.

K : "Oya pak tadi disekolah diajarin tertawa, nangis, senyum sama bu guru."

B : "Bagus itu le, ayo sekarang kamu tertawa ntar bapak lihat, kemudian gantian bapak  yang tertawa dan kamu yang liat . Habis itu tersenyum, sama sperti tadi terus nangis, marah, teriak. Biar bisa merasakan semua 'rasa' itu ya le."

Begitulah bagian dari celoteh Si Kecil, dimana si kecil dan si bapak sama-sama belajar,  berteman dalam perjalanan ini dengan terus berusaha melakukan tugas dan kewajiban yang sekarang ini harus dilakukannya.

Celoteh Si Kecil ~ Terang

Sore itu seperti biasa seorang bapak dan anaknya terlibat dalam  percakapan yang dan selalu ada saja 'ucapan sentilan' dari si kecil (K) ke si 'bapak' (B)
B : "Le, jangan main di bawah terik matahari lama-lama, ntar kulitmu jadi kehitaman. Sudah sawo matang ntar jadi tambah gelap lho."
K : "Ya ora popo pak, lha ini putih kulitku tkena sinar matahari malah jadi putih pak, ntar juga kalau di ruangan jadi putih wong kena lampu pak. Jadi ya ndak apa-apa, slalu ada sinar yang menyinari tubuhku dan membuatku menjadi putih."

Sang bapak geleng-geleng kepala mendengar jawaban anaknya, namun akhirnya dirinya merasa disindirmanggut-manggut  sehingga akhirnya juga

B : "Bener juga kata-katamu , seperti Sinar Terang yang barusan kamu bilang. Kalau bapak  rasa-rasake  GUSTI juga  selalu ada . DIA selalu hadir seperti sinar tadi, bahkan melalui RAGA ini DIApun berkarya......Saking dekatnya hingga seringkali lupa akan KEBERADAAN DIRINYA."

Kemudian merekapun masuk kerumah, terus berbincang-bincang sambil bermain Monster VS Ultraman seperti biasa. Melihat dua buah kacamata mainan punya si kecil, sang bapak berkata kepada si kecil.

B : "Sini le coba pakai kacamata ini (Kacamata putih) trus liat matahari le, piye penak ora?"
 
K : "Silau pak, ndak bisa melihat pak."

B : "Sekarang pakai yang ini (Kaca mata gelap), gimana sekarang ?"

K : "Lebih enakan sekarang, bisa melihat sekarang ".

B : "Lha ya gitu le, terkadang saat merasakan TERANG, bisa saja kita ini menjadi terlena hingga terus mengharapkannya  tanpa pernah berusaha untuk menjadi terang sendiri. Sering juga karena sudah merasa mampu memberi TERANG, malah kelupaan hingga terus memaksakan sinarnya dan menyilaukan bagi yang melihatnya......Menjadi LILIN disaat gelap , dan Menjadi LILIN yang Terus Menyala disaat Terang juga harus selalu diingat ya....." kata sang bapak sambil kemudian diapun melanjutkannya, "Ayo sekarang main cubit-cubitan ....bapak tak nyubit ntar gantian di cubit....Jadi PAS sama-sama merasakan sakitnya ntar bisa dibandingkan enaknya pas NYUBIT dibandingkan dengan rasanya DICUBIT."
 
Begitulah bagian dari celoteh Si Kecil, dimana si kecil dan si bapak sama-sama belajar,  berteman dalam perjalanan ini dengan terus berusaha melakukan tugas dan kewajiban yang sekarang ini harus dilakukannya.

Thursday, November 18, 2010

Celoteh Si Kecil ~ Rasa

Seperti biasa ada saja pertanyaan yang keluar dari mulut polos si 'kecil'  (K) ke si 'bapak' (B). Obrolan-obrolan seorang anak kepada bapaknya yang terkadang memberikan sindiran dan senthilan.

K : "Itu apa pak, kok warnanya putih ?. tak rasain ya". tanya si kecil kepada bapaknya 
 
B : "Itu garam le, coba aja. Rasanya asin to le, nek ndak ada garam rasanya makanan akan terasa hambar, nek kebayakan ntar jadi keasinan, ndak enak  le." Dan dilihatnya si kecil manggut-manggut

K : "Lhak nek itu juga putih opo pak?"
B : "Itu gula, rasanya manis. Nek banyak-banyak ntar kemanisan ndak baik buat kesehatan 'kata pak dokter', ntar kena sakit gula".

K : "Kalau yang dibotol itu apa pak?"
B : "Itu asam cuka, minum aja...Asem (asam) rasane.  Coba sekarang kamu makan sop ayam buatan ibumu. Piye uenak ya. Sekarang pelan-pelan dirasakan ya le, ada rasa asin, manis, asem di situ to le.. Tiga rasa yang menyatu menjadi satu, tidak hilang, bisa diurai lagi menjadi tiga, bahkan bisa menjadi banyak rasa tergantung banyaknya bahan yang dimasukkan di situ. Adonan yang PAS...tidak lebih dan tidak kurang....dalam semangkok sop ayam"

Begitu obrolan dengan si 'kecil', terus ngerumpi sambil becanda  hingga akhirnya
B : "Le, kemarin kamu dah tahu to, apa itu kaki, tangan, mata mulut, kepala, perut, dsb....Semua bagian dari tubuhmu yang luar atau dalam dah kamu tahu to. Sekarang coba bisa ndak tangan kirimu ingin meraih belakang badanmu, yang kanan ingin menggapai yang ada di depan, matamu ingin tidur terpejam, kakimu ingin berjalan, perutmu terasa mules semua terjadi pada saat bersamaan piye jal...bisa le....hehehehe....Kalau mau bisa, bapak potong aja tubuhmu ya biar terpisah-pisah, biar semua bisa dapat. melakukan semuanya itu. Tapi ntar ndak ada yang mengenali dirimu....yang liat pasti bilang tangan terbang, kepala terbang....kaki berjalan sendiri....malah pada takut, lari semua...ntar dikira ada hantu...hehehehe."

"beda ya le kalau semua itu jadi satu, temen-temenmu akan memanggil namamu "dewa" atau panggil adikmu "arjun"....lha wong mereka liatnya satu kesatuan tubuhmu...Semua bagian tubuhmu, ragamu ini ada yang mengendalikannnya....Adanya di dirimu sendiri, pelajari saja le...Hingga akhirnya kamu bisa 'bertindak' dan tahu apa itu' Tindakan"

" Ayo le sekarang main monster-monsteran...Bapak jadi Monster, kamu jadi Ultraman, Ntar dibalik ya Bapak jadi Ultraman kamu jadi Monster....Jadi tahu RASANYA jadinya MONSTER dan ULTRAMAN......hehehehe""""