Hari itu adik si kecil sedang asyik menggambar, belajar membuat sebuah mobil dikala si kecil pulang dari sekolah. Dipanggil-panggil namanya oleh sang adik, namun diabaikannya oeleh si kecil. Sebuah raut wajah kemarahan terpancar dari mukanya yang kecil. Hingga sang adikpun berlari mencari sang ibu dan bapak sambil membawa gambarnya. Sambil diceritakannya sang kakak yang masih marah dan tidak mau berbicara dengan dirinya. Sang ibu hanya tersenyum mendengarnya, dan bersama sang bapak dihampirinya si kecil yang masih terdiam dengan muka yang ditekuk.
”Kenapa kamu masih marah-marah saja di rumah? Apa belum cukupkah tadi kamu marah-marah di sekolah?” tanya sang ibu.
”Aku besok tidak mau sekolah lagi. Ingin di rumah saja. Aku tidak mau berteman dan bermain dengan mereka. Mereka semua jahat, mereka semua tidak baik,” jawab si kecil .
Kembali si ibu dan sang bapak tersenyum, mendengar dan melihat tingkah si kecil. Di usap-usap kening si kecil oleh sang ibu agar dirinya tenang. Setelah beberapa saat didekapnya pula adik si kecil. Berdua mereka berada dalam dekapan sang ibu, kehangatan dan kedamaian seorang ibu secara perlahan membalut mereka berdua.
”Daripada kamu marah-marah saja, kalian dengarkan saja cerita dari bapak. Ayo pak ceritakan kepada mereka cerita ”Sapi dan Kerbau”. Mungkin saja setelah mendengar cerita itu, si kecil bisa tersenyum kembali,” kata sang ibu sambil memberikan lirikan kepada sang bapak.
Tentu saja sang bapak sudah memahami arti sebuah lirikan dari istrinya. Dan mulailah dia bercerita sebuah dongeng ”Sapi dan Kerbau”.
Di sebuah negeri dongeng, sudah menjadi persepsi atau pemahaman bahwa Sapi merupakan makhluk yang yang cerdas, baik. Sapi menjadi lambang kebaikan. Sementara segala kebodohan dan keburukan melekat pada Kerbau. Kebaikan dan keburukan, pintar dan bodoh yang melekat kepada kedua hewan tersebut.
Suatu hari datanglah seorang perantau ke daerah tersebut. Seekor kancil muda. Sebelum merantau sebuah pesan selalu teringat didirinya. Carilah teman seperti Sapi, dia baik, pintar. Janganlah berteman dengan Kerbau karena dia jahat dan bodoh. Sebuah petuah singkat, yang melekat dan mempengaruhi cara pandangnya. Hingga begitu dia masuk ke daerah itu, pertama-tama yang ingin dijumpainya hanyalah Sapi. Kerbau yang telah dilihatnya pertama kali, dihiraukannya. Segala tegur sapa dan keramahan yang diperlihatkan dari Kerbau tidak dihiraukannya. Bahkan dihindarinya karena dia beranggapan itu semua hanyalah palsu saja, sebuah tipu muslihat yang akan menjebak dirinya. Tidak mungkin dia akan berbuat baik karena kerbau itu jahat.
Setelah beberapa saat mencari, dilihatnya seekor Sapi sedang asyik duduk. Tentu saja timbul rasa senang, gembira karena telah ditemukan sapi. Dimana ada kebaikan, kepintaran yang ada dirasakan saat dirinya berada di dekatnya. Gambaran-gambaran menyenangkan muncul. Sang sapi juga gembira melihat kedatangan seorang teman baru. Berdua mereka berbincang-bincang. Dikeluarkannya bekal yang dibawanya, diperlihatkan dan dibagikannya kepada sapi. Berdua mereka makan. Benarkah mereka berdua merasakan yang sama atas pertemuan yang terjadi tersebut? Bagi Kancil sungguh suatu kegembiaraan yang luar biasa, dan mulai dia mempercayai kebenaran yang telah tertanam di pikirannya. Namun ternyata hal itu berseberangan dengan yang dirasakan oleh sapi. Tanpa diketahui oleh kancil, sapi ternyata merencanakan sesuatu yang jahat.
”Aku akan membuat dia terlena, hingga saat dirinya lengah akan aku bawa semua bekal yang ada. Sungguh beruntungnya diriku, disaat aku membutuhkan ternyata datang seekor mangsa yang lezat,” kata aapi dalam hati.
Tentu saja Kancil yang masih termakan oleh pemahaman bahwa selalu ada kebaikan di diri sapi, selalu percaya saja dengan apa yang dikatakan oleh Sapi. Di saat dirinya disuruh untuk membasuh diri di sebuah sungai yang tidak jauh dari tempat itu, diapun percaya saja. Karena alasan yang dikatakan oleh Sapi, agar dirinya menjadi segar kembali setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan. Kancil tanpa menaruh rasa curiga,meninggalkan semua bekal yang ada. Sapi memberikan senyuman palsu melepas kepergian Kancil. Setelah Kancil sudah tidak terlihat lagi, tanpa menunggu lama Sapi membawa pergi semua bekal yang ada. Senyum kepuasan terbayang di wajah Sapi.
Betapa kagetnya Kancil, semua bekal yang yang dibawanya hilang semua. Dipanggil dan di carinya Sapi namun sia-sia. Rasa sedih, kecewa dirasakannya. Marah karena merasa telah ditipu.. Rasa kesal, meratapi kebodohan dirinya. Betapa selama ini dirinya dibelenggu oleh keyakinan akan baik dan buruk, baik dan jahat . Disaat kancil duduk terdiam, dikejutkan oleh sapaan lembut . Ditengoknya sesaat, ternyata Sang Kerbau memberikan sapaan dan senyuman bagi dirinya.
Lama dirinya bimbang , namun akhirnya memutuskan untuk mencoba menerima sambutan hangat yang ditawarkan. Semakin lama dirinya membuka diri mencoba menerima kerbau dan membuang segala persepsi yang telah lama tertanam di dirinya. Kesan kerbau itu jahat, bodoh, kotor dihapus. Perlahan dirinya bisa melihat segala kebaikan yang terpancar dari sang kerbau. Segala kebenaran yang selama ini tidak terlihat karena terbelenggu baik dan buruk yang berasal dari dirinya muncul. Kerbau mengajaknya berkeliling dan mengenalkan dengan semua hewan yang ada disitu. Bahkan dirinya dijamu dan diterima sebagai bagian dari komunitas di situ. Kancil sejak itu belajar berteman dan melihat segala sesuatu apa adanya.
Sang sambil tersenyum berkata kepada si kecil , ”Bagaimana, masihkan besok tidak mau masuk sekolah? ”.
Sebuah lirikan ditujukan kepada sang bapak, disambut sebuah senyuman ringan.
Betapa selama ini kita sering terbelenggu oleh sebuah persepsi baik dan buruk, jahat dan baik dalam diri seseorang atau segala sesuatu. Penilaian yang secara sepihak dari diri, hingga membutakan untuk melihat setitik kebaikan yang mungkin terselubung oleh yang kita nilai keburukan.